Tentang Surabaya

Kota yang tidak seindah itu.

Danny Hidayat
4 min readMay 30, 2022
Patung Suro dan Boyo. Source: Pinterest

Bukan kota yang ternyaman yang pernah saya tinggali.

Ya, sebelum anda membantah pernyataan saya ini, saya harus akui, Surabaya adalah kota yang cukup nyaman dan juga banyak pencapaiannya. Tapi satu hal yang tidak bisa anda dan saya bantah, Surabaya adalah kota yang……

Panas.

Ya, panas, banget. Aku adalah orang yang suka berjalan — jalan di trotoar melihat pemandangan, menaiki motor tua berkeliling kota, dan menghirup udara segar pagi hari sewaktu berolahraga. Untuk sekarang, sulit mendapatkan itu di kota Surabaya ini.

Bukan kota yang paling indah yang pernah saya tinggali.

Jelas, aku bukan orang yang menyukai suasana perkotaan padat seperti Jakarta dimana terdapat gedung-gedung tinggi menjulang dan kemacetan dimana-mana. Oh tidak, Surabaya tidak macet sekali seperti Jakarta, namun tetap saja kota ini sangat kental dengan suasana yang tidak jauh berbeda. Keramaian dan pemandangan yang mirip sepertinya cenderung membuat cerita yang mirip pula (toh Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta), dan jelas bukan selera orang sepertiku.

Ya, anda bisa membantah dengan membawa-bawa perubahan Pantai Kenjeran dan bunga Tabebuya di ruas-ruas jalan, tapi maaf, aku masih teguh pada opiniku.

Dan untuk sedikit menyulut emosi arek-arek Suroboyo, kota ini….

Bukan kota yang paling enak kulinernya.

Mohon maaf, tentu selera orang berbeda — beda, tapi tidak untukku. Ups, sepertinya harus saya hentikan dulu membahas sisi negatif kota ini sebelum saya diteriaki “Janc*k”.

Jalan Tunjungan Surabaya. Source: Robertus Risky in Jawa Pos

Tapi memang begitulah kenyataannya. Jujur saja, kota ini bukan yang terbaik yang pernah saya tinggali meskipun biasanya orang cenderung menyukai kota kelahirannya. Lihat saja Yogyakarta yang selalu disebut-sebut memiliki cerita unik bagi setiap orang yang berkunjung kesana ataupun Bandung dengan kisah romansanya. Tapi, ada beberapa alasan mengapa saya membuat tulisan mengenai kota kelahiran saya yang tengah berulang tahun ke-729 di tanggal 31 Mei 2022 ini dengan segala ketidaksempurnaannya.

Kota ini adalah tempat awal aku mengukir prestasi.

Kalau kalian pernah membaca tulisanku yang lain, kalian sudah pasti tahu aku adalah mantan atlet karate. Ya, sudah sulit untuk menghitung berapa kali aku membawa nama kota ini di pundak untuk bertanding mempertaruhkan kebanggan diri sendiri dan tentunya Surabaya. Mengingat pemusatan latihan daerah (Puslatda) atlet Jawa Timur juga berlokasi di Surabaya, rasanya sulit untuk tidak membahas kota ini sembari saya ‘flexing’ prestasi. Mungkin Surabaya bukan surganya para atlet, khususnya atlet karate, namun Surabaya sudah banyak memberiku kesempatan dan apresiasi, dan mungkin selama ini aku kurang berterima kasih untuk itu.

Kota ini adalah tempat kesetaraan dalam kekasaran omongan.

Ya, Surabaya ini salah satu kota yang menggunakan Bahasa Jawa dengan dialek Suroboyoan yang (cenderung) kasar. Sedikit melenceng dari topik, aku akui Surabaya bukan satu-satunya kota dengan keberagaman yang besar. Namun, yang aku pelajari dari kota ini, anda bisa menciptakan kedamaian dan persahabatan dengan kesetaraan, maksud saya…….. sama kasarnya. Ya, mau anda etnis Jawa, Tionghoa, Batak, Bugis, atau apapun, jangan harap anda bisa lepas dari kata-kata mutiara kota ini (baca: Janc*k). Di sisi bagusnya, anda juga dapat bersikap yang sama, masa bodoh dengan adat asal anda, masa bodoh dengan tata krama daerah asal anda, masa bodoh dengan status sosial anda (anda mungkin familiar dengan sebutan crazy rich Surabaya), selama anda bisa dibilang seusia, sebaiknya anda jangan berharap mendapat kalimat-kalimat indah bagai mutiara di kota ini dari lawan bicara anda.

Tak perlu kaget, aku pun awalnya sempat heran mengalami hal tersebut karena aku adalah satu-satunya etnis Tionghoa di satu kelas sewaktu SMA dan satu dari 3 orang etnis Tionghoa di atlet karate Surabaya waktu itu. Namun, justru aku tidak merasakan adanya perpecahan atau gesekan yang membuat sekat pemisah, yang aku rasakan justru kedamaian dan kekerabatan. Hmmm sepertinya kata-kata mutiara kota ini pun sudah berpindah makna dari makian menjadi simbol persahabatan.

Kota ini membuat saya bahagia dengan cara yang sederhana.

Jika aku diminta untuk mengucapkan seratus alasan mengapa Surabaya bukan kota yang terbaik, percayalah aku bisa memberi dua bahkan tiga ratus alasan. Namun jika aku diminta menyebutkan seratus alasan mengapa Surabaya mempunyai tempat di hati ini, sayangnya aku hanya punya satu alasan.

Kota ini adalah tempat yang selalu saya lupakan karena saya begitu lama bersamanya.

Sulit untuk mencernanya? Coba pikirkan hal ini, kapan terakhir kali anda bilang ke orang tua atau suami/istri anda bahwa anda mencintai mereka dan bersyukur memiliki mereka? Tenang saja, aku tidak sedang membuat segregasi ataupun kompetisi orang yang berbakti dan tidak. Tapi intinya begini, semakin anda terbiasa dengan sesuatu, kepuasan yang anda rasakan justru semakin berkurang.

Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa. Ungkapan yang sederhana, bermakna sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Aku setuju bahwa cinta tidak tumbuh dengan sekejap, cinta butuh waktu untuk berkembang dan terbiasa. Namun pernahkan kita berpikir lebih jauh bahwa semakin kita terbiasa dengan cinta tersebut, ia akan pudar tanpa kita sadari? Tapi sebelum tulisan ini melenceng seperti Layangan Putus, mari kita kembali ke topik.

Aku bermimpi jika Surabaya sesejuk kota Bandung atau Salatiga, aku bermimpi Surabaya memiliki pemandangan alam yang mempesona seperti kota Batu, dan lain sebagainya. Namun, apapun itu, Surabaya tetap kota yang aku tinggali lebih dari 18 tahun lamanya. Ia sudah menemaniku dari masa kecil hingga sekarang dengan segala keindahan dan kekurangannya. Ia tak perlu lagi menjadi spesial dengan cara apapun dan saya akan tetap bahagia menjadi arek Suroboyo. Mungkin aku terlalu fokus pada keindahan-keindahan yang baru sehingga tak pernah menyadari keindahan kota kelahiranku, kota yang sudah lama aku tinggali ini. Ah, tak heran makin kesini aku makin mengabaikan nasihat-nasihat yang dikatakan orang tuaku.

Berhubung kota ini tengah berulang tahun ke-729, ijinkan arek Suroboyo yang satu ini memanjatkan doa yang sangat sederhana:

Tuhan, jadikanlah kota ini beserta orang-orang di dalamnya seperti apapun yang Engkau mau, sebab hamba-Mu sudah merasa cukup tentangnya.

Dirgahayu Surabaya!

--

--